Bongkar Fakta Mengejutkan: Stigma Lama terhadap LDII Ternyata Hanya Mitos, Begini Hasil Riset Cendekiawan Muda NU
Jakarta – Stigma negatif terhadap suatu kelompok sering kali beredar luas tanpa adanya verifikasi. Hal ini juga dialami oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), yang sejak lama mendapat anggapan miring bahwa masjid mereka akan dipel jika ada orang di luar komunitas yang salat di sana.
Isu ini sudah menyebar puluhan tahun dan diwariskan secara turun-temurun tanpa bukti konkret. Stigma inilah yang mendorong seorang cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Ali, untuk melakukan penelitian mendalam. Hasil risetnya kemudian dituangkan dalam buku berjudul “Nilai-Nilai Kebajikan dalam Jamaah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)”.
“Stigma ini sudah saya dengar sejak lama. Sekitar tahun 2002, teman saya bilang kalau salat di masjid itu akan dipel karena dianggap najis. Dua puluh tahun kemudian baru saya tahu masjid yang dimaksud adalah masjid LDII. Karena itu tahun 2021 saya mulai riset lebih dalam hingga lahirlah buku ini,” jelas Ahmad Ali pada acara broadcast Lines Talk yang ditayangkan di channel youtube LDII TV.
Ahmad Ali menilai, berkembangnya stigma terhadap LDII lebih banyak dipicu oleh kabar dari mulut ke mulut tanpa riset dan observasi langsung. Padahal, menurutnya, tuduhan tersebut sangat perlu diluruskan agar masyarakat tidak terjebak dalam kesalahpahaman.
Melalui penelitian yang ia lakukan, Ahmad menemukan fakta menarik: setiap masjid LDII memiliki sandal khusus di tempat wudhu, toilet, ruang tamu, hingga wisma. Bagi seorang peneliti, fenomena ini membuka makna mendalam, yaitu adanya keterkaitan sandal dengan konsep taharah atau kesucian dalam Islam.
“Justifikasi bahwa masjid dipel setelah digunakan orang luar sebenarnya bukan karena mereka dianggap najis. Melainkan semata-mata untuk menjaga kesucian tempat ibadah, sesuai prinsip taharah yang dipahami dalam syariat,” ungkapnya.
Ahmad Ali yang menimba ilmu pesantren sejak 1991 menjelaskan bahwa sesuatu dianggap suci jika terbebas dari sifat najis dalam hal bau, rasa, dan warna. Jika salah satunya masih tersisa, maka najis masih ada.
Hal inilah yang menjadi dasar LDII dalam menjaga kesucian masjid. Ia mencontohkan, LDII menerapkan standar air dua kulah (sekitar 200 liter) sebagaimana terdapat dalam hadis. Jika air sebanyak itu terkena najis namun sifat najis hilang, maka air tetap suci dan bisa digunakan.
Prinsip inilah yang seringkali disalahpahami masyarakat. Padahal, menurut Ahmad, praktik LDII sejalan dengan ajaran Islam pada umumnya. Kebersihan, kerapian, kedisiplinan, dan kesucian merupakan nilai kebajikan utama yang diajarkan di setiap lingkup LDII.
Salah satu hal menarik yang ditemukan Ahmad Ali adalah tata cara penataan sandal di masjid LDII. Setiap sandal selalu tersusun rapi dan dibalik menghadap keluar, sehingga memudahkan jamaah saat meninggalkan masjid.
Lebih dari sekadar kebiasaan, hal ini merupakan bentuk pendidikan karakter. Jamaah LDII diajarkan untuk selalu merapikan sandalnya sendiri tanpa mengandalkan orang lain.
“Kemandirian itu tergambar dari hal kecil. Setiap orang merapikan sandalnya sendiri, tidak berharap orang lain yang menatanya,” tegas Ahmad.
Kebiasaan sederhana ini ternyata membawa dampak besar dalam membangun disiplin dan rasa tanggung jawab individu, terutama di kalangan generasi muda.
Stigma lama yang menempel pada LDII akhirnya terbantahkan melalui riset ilmiah. Justru praktik yang dianggap aneh oleh sebagian orang memiliki dasar syariat yang jelas, serta bertujuan menjaga kesucian dan kebersihan, dua nilai fundamental dalam Islam.
Buku karya Ahmad Ali menjadi bukti bahwa LDII tidak sekadar mengajarkan Islam dari sisi ritual, tetapi juga menekankan pentingnya adab, kemandirian, dan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari. (*)