Berita Nasional, nasional

Mengungkap Sistem Pendidikan LDII: Perspektif Cendekiawan NU Ahmad Ali dalam Buku Terbarunya

Jakarta – Pendidikan selalu menjadi pilar utama dalam membentuk karakter generasi bangsa. Hal inilah yang mendorong cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Ali, untuk meneliti lebih dalam sistem pendidikan yang diterapkan oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Hasil riset tersebut akan dituangkan dalam buku ketiganya yang berjudul “Sistem Model dan Corak Pendidikan LDII di Indonesia dalam Platform Profesional Religius”.

Dalam wawancara eksklusif di program LinesTalk LDIITV waktu lalu, Ahmad Ali mengungkapkan ketertarikannya terhadap pondasi pendidikan yang membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir warga LDII. Baginya, pendidikan yang diterapkan di sebuah lingkungan organisasi keagamaan tidak hanya memengaruhi intelektual, tetapi juga membentuk karakter spiritual dan sosial.

“Saya penasaran pondasi apa yang dimiliki warga LDII. Apakah pendidikan yang diajarkan pada semua lembaga pendidikan naungan LDII itu sama? Bagaimana kurikulumnya? Ini semua membutuhkan riset mendalam,” jelas Ahmad.

Salah satu temuan menarik Ahmad dalam penelitiannya adalah istilah pengajian caberawit. Bagi masyarakat awam, khususnya warga NU, istilah ini terdengar unik. Jika pada umumnya pengajian untuk anak-anak dikenal dengan sebutan pengajian anak, LDII justru menggunakan istilah caberawit yang berarti kecil-kecil tapi pedas. Filosofi ini menggambarkan bahwa meskipun masih anak-anak, mereka sudah dibekali pemahaman agama yang kokoh.

Ahmad mengungkapkan bahwa LDII memiliki dua jalur pendidikan, yaitu formal dan nonformal:

1. Pendidikan Formal LDII
LDII mengelola lembaga pendidikan formal mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA, SMK, hingga perguruan tinggi. Secara umum setara dengan lembaga pendidikan lain di Indonesia, yang membedakan adalah adanya kurikulum tambahan berbasis keagamaan yang menekankan akhlak dan nilai luhur.

2. Pendidikan Nonformal LDII
Pendidikan nonformal LDII meliputi:

  1. Pengajian caberawit (untuk anak usia sekolah dasar)
  2. Pengajian generus (remaja)
  3. Pengajian muda-mudi
  4. Pengajian kelompok masyarakat umum, termasuk ibu-ibu dan kajian bulanan.

Selain itu, di lingkungan pesantren LDII terdapat berbagai model pendidikan, seperti:

  1. Model klasik: santri reguler fokus menyelesaikan kurikulum khatam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
  2. Model boarding school: santri sekaligus pelajar yang menempuh pendidikan pondok dan sekolah umum secara bersamaan.

Ahmad menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan LDII sangat terstruktur. Beberapa poin penting yang diajarkan antara lain:

  1. Kitab himpunan hadits sebagai pedoman pemahaman agama.
  2. Enam tabiat luhur, yaitu jujur, amanah, hemat, rukun, kompak, dan kerja sama yang baik.
  3. Tri Sukses Generus, yakni sukses dalam iman-taqwa, sukses dalam ilmu, dan sukses dalam kemandirian.

Semua itu ditanamkan sejak dini dengan landasan Al-Qur’an, Al-Hadits, dan maqolah sahabat, sehingga menciptakan generasi yang kuat secara spiritual, intelektual, dan sosial.

Menurut Ahmad, sistem pendidikan LDII cukup adaptif terhadap perkembangan zaman. Tidak hanya berorientasi pada kecerdasan akademik, tetapi juga menekankan pentingnya akhlak dan karakter luhur. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa karakter tidak bisa muncul tiba-tiba, melainkan harus dipupuk sejak dini melalui pendidikan yang konsisten.

“Akhlak atau karakter luhur tidak bisa muncul begitu saja. Ia harus ditanamkan dan dipupuk sejak lama, agar menjadi bagian dari jati diri generasi,” tegas Ahmad. (nabil/bayu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *